Mungkin kamu pernah mendengar ungkapan-ungkapan ini, “Pikirkan saja hal-hal yang bahagia!” “Jangan khawatir, berbahagialah!” atau “Lihat sisi positifnya!” Semua ucapan positif itu maksudnya baik, tetapi ungkapan-ungkapan tadi bisa sangat berbahaya. Ternyata ungkapan “semua yang berlebihan itu tidak baik” juga berlaku pada hal yang positif. Karena positivity yang salah tempat dan waktu juga bisa menjadi racun yang dinamakan toxic positivity.
Klik Untuk Donasi - Alami Keterlambatan Perkembangan, Zahra Butuh Bantuan untuk bisa Terapi!- Terdanai Rp.12,901,000
- Pencapaian 84.33%
- Donatur 34
Daftar isi:
Apa itu toxic positivity?
Toxic positivity adalah suatu kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk bisa berpikir lebih positif dan menghindari pikiran negatif. Membangun perspektif positif itu baik. Akan tetapi, jika pikiran negatif juga dihindari, hal ini bisa berakibat buruk.
Orang yang menghadapi toxic positivity biasanya akan menghindari emosi negatif seperti kemarahan, kekecewaan, maupun kesedihan mengenai suatu peristiwa. Jika emosi negatif tersebut terus-menerus ditolak dalam jangka panjang, maka akan berdampak negatif pada kesehatan mental, misalnya perasaan depresi, cemas, dan sedih dalam waktu yang lama. Sebenarnya emosi negatif itu penting untuk dirasakan dan dibagikan pada orang lain supaya seseorang bisa merasa lebih baik.
Toxic positivity menyiratkan dua hal utama:
- Seseorang harus selalu merasa baik, bahkan saat terjadi hal-hal buruk.
- Merasa baik hanya sebuah pilihan.
Mengapa orang perlu mengekspresikan emosi mereka?
Istilah ’emosi positif’ biasanya untuk menggambarkan kebahagiaan, penuh harapan dan optimis, sedangkan istilah ’emosi negatif’ untuk menggambarkan kesedihan, ketakutan, dan kemarahan. Faktanya, semua emosi adalah positif karena emosi tersebut merupakan barometer untuk mengetahui kapan segala sesuatunya berjalan dengan baik atau tidak. Selain itu, emosi juga merupakan sinyal peringatan dan alat pembelajaran untuk memotivasimu untuk berbuat lebih baik.
Mengabaikan perasaan bisa mengakibatkan munculnya stres, kecemasan, harga diri rendah dan menghambat kemampuanmu untuk mengatur emosi. Menurut penelitian, emosi yang ditekan akan membuat seseorang berada dalam keadaan stres yang tinggi yang bisa membuat mereka lebih rentan terhadap beberapa kondisi medis akibat meningkatnya kadar hormon stres kortisol. Stres tinggi akan terus meningkatkan detak jantung, kualitas tidur buruk dan mengganggu sistem pencernaan.
Tanda-tanda Toxic Positivity
Berikut ini adalah beberapa ekspresi dan pengalaman umum dari toxic positivity untuk membantu mengenali bagaimana hal itu muncul dalam kehidupan sehari-hari.
- Menyembunyikan atau menutupi perasaan yang sebenarnya
- Mencoba untuk “melanjutkan saja” dengan menjejalkan atau menyingkirkan emosi
- Merasa bersalah sebab merasakan apa yang kamu rasakan
- Meminimalkan pengalaman orang lain menggunakan kutipan atau pernyataan yang bernada positif
- Mencoba memberikan perspektif seseorang daripada mengakui pengalaman emosional mereka
- Mempermalukan atau menghukum orang lain karena mengekspresikan frustrasi atau apa pun selain kepositifan
- Menyingkirkan hal-hal yang mengganggu seseorang dengan mengatakan “terima saja.”
Tips untuk menghindari toxic positivity
Menurut Tabitha Kirkland, seorang psikolog dan profesor pengajar di Departemen Psikologi Universitas Washington, kebahagiaan sesungguhnya tidak datang dari menekan emosi negatif dan menggembar-gemborkan pernyataan perasaan baik, tetapi bersandar pada apa yang kamu rasakan saat ini dan menerima semua emosimu, baik positif maupun negatif. Berikut adalah beberapa cara untuk menumbuhkan kepositifan yang sebenarnya dalam hidup dan menghilangkan toxic positivity untuk selamanya.
Berlatih Mindfullness (Kesadaran Penuh)
Cobalah berlatih mindfulness dengan mengambil waktu tenang untuk memperhatikan bagaimana perasaanmu dan apa yang terjadi di tubuh dan pikiranmu. Jangan fokus pada satu pikiran atau sensasi, tapi perhatikan semuanya. Jika kamu melihat hal yang negatif, jangan menghakimi dirimu, cukup catat dan lanjutkan. Adalah hal penting untuk memperhatikan perasaan negatif dan mengakui informasi yang diberikan perasaan itu kepada dirimu tanpa kehilangan diri dirimu di dalamnya.
Sadari bahwa emosi merupakan sebuah alat
Salah satu pendekatan untuk mindfulness adalah dengan melihat emosi sebagai alat atau informasi, daripada hanya berfokus pada bagaimana perasaanmu. Kirkland menjelaskan bahwa semua emosi itu fungsional dan mempunyai tujuan. Bagi orang yang mengalami dan yang diajak bicara, emosi merupakan sinyal. Emosi negatif seperti ketakutan atau kemarahan berfungsi untuk mengingatkanmu tentang potensi bahaya atau ancaman, sedangkan emosi positif seperti kebahagiaan menumbuhkan koneksi dan peluang untuk menjadi kreatif.
Akui kesalahan interpersonal-mu
Akui dan segera minta maaf jika kamu menyadari bahwa kamu telah mengabaikan emosi negatif orang yang kamu cintai atau memotongnya dengan toxic positivity ketika mereka mencoba untuk curhat kepadamu. Semua orang pasti pernah berbuat salah, jadi tak perlu terlalu mengkritik diri sendiri kalau kamu menyadari bahwa kamu merasa tidak sensitif atau meremehkan orang lain. Hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah mengenalinya dan bertanya kepada orang yang kamu cintai bagaimana kamu dapat merespons dengan lebih baik di lain waktu.
Derita Diabetes Hingga Harus Amputasi Kaki, Pak Hasan Butuh Bantuanmu!!
Perjelas kebutuhanmu
Terkadang, orang mungkin menanggapi ekspresi emosi yang kamu rasakan dengan cara yang tidak membantu. Itu bukan berarti mereka tidak ingin membantu, tetapi karena mereka membuat asumsi tentang bagaimana mereka harus merespons, seperti menawarkan nasihat padahal saat itu kamu tidak perlu nasihat. Salah satu cara untuk menghindarinya adalah memulai percakapan dengan menjelaskan kebutuhanmu, misalnya, bahwa kamu membutuhkan empati dibandingkan nasihat. Menyatakan apa yang kamu inginkan dari interaksi juga bisa membantu orang lain, dengan mendorong mereka untuk rileks dan merespons dengan lebih otentik.
Biarkan dirimu merasakan perasaanmu
Sebenarnya ini cukup mudah, tapi sering kali lebih sulit untuk dicapai. Orang memiliki beberapa alasan untuk tidak terlibat dengan emosimu yang rumit. Mereka terlalu sibuk untuk menghadapinya, mereka tidak ingin tertekan, mereka tidak ingin mengecewakan orang lain. Namun perlu kamu ingat bahwa perasaan negatifmu tidak akan hilang kecuali akhirnya kamu mengatasinya. Jadi, akui perasaan negatifmu, cobalah untuk memahami dari mana asalnya, dan pikirkan apa yang dapat kamu lakukan untuk mengatasinya. Menurut Kirkland, penting untuk tidak memprioritaskan lebih banyak emosi positif daripada yang negatif. Semua emosi menawarkan informasi yang berguna tentang apa yang lakukan lakukan di dunia, dan semuanya sama-sama valid.
Toxic positivity memberikan kesan positif, tetapi sebenarnya bisa berbahaya bagi kesehatan mental. Tidaklah sehat untuk menolak perasaan negatif yang dirasakan. Semua perasaan itu penting. Setelah mengetahui tentang hal ini, tentu kamu akan lebih berhati-hati lagi ketika memberikan respons saat orang curhat padamu. Setelah belajar mengenai hal kepositifan yang bisa menjadi racun, yuk sisihkan waktu untuk membantu pasien yang membutuhkan bantuan biaya pengobatan. Cukup download aplikasi WeCare.id di Google Play atau App Store untuk donasi mudah dan praktis kapan saja.
Yuk, ulurkan tanganmu untuk bantu sesama bersama WeCare.id!
Klik Untuk Donasi - Mari Bantu Jantung Diandra Berdetak dengan Normal!- Terdanai Rp.12,208,460
- Pencapaian 108.15%
- Donatur 76
Referensi
Beware of Toxic Positivity. (2021). Diambil kembali dari darya-varia.com.
Millacci, T. S. (2021). Toxic Positivity in Psychology: How to Avoid the Positivity Trap. Diambil kembali dari positivepsychology.com.
Princing, M. (2021). What You Need to Know About Toxic Positivity. Diambil kembali dari rightasrain.uwmedicine.org.
Raypole, C. (2021). Good Vibes Only: The Subtle Trap of Toxic Positivity. Diambil kembali dari psychcentral.com.
Samara Quintero. (2019). Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes. Diambil kembali dari thepsychologygroup.com.
Shaw, L. (2021). Toxic positivity’: it’s on the rise – and it’s dangerous. Diambil kembali dari managers.org.uk.