Dalam beberapa waktu terakhir, istilah cancel culture menjadi salah satu fenomena yang sering dibicarakan pada berbagai platform media sosial, khususnya di Twitter. Konsep ini merujuk pada pembatalan dalam hal penolakan, pemboikotan atau usaha untuk menghilangkan pengaruh seorang public figure di media sosial maupun dunia nyata.
Daftar isi:
Sejarah Cancel Culture
Munculnya istilah cancel culture telah ada sebelum orang ramai menggunakan media sosial seperti Facebook atau Twitter The New York Times melaporkan pada tahun 1991, muncul frasa baru dalam bahasa gaul di China yakni “renrou sousuo”, yang artinya “human flesh search.”
Istilah ini merujuk kepada aktivitas para pengguna internet di China untuk mencari informasi tentang orang-orang tertentu. Tak hanya mencari informasi secara online, namun data juga didapatkan secara offline yang kemudian disebarkan kepada publik. Penelusuran yang paling sering dilakukan adalah bagi individu yang dicurigai melakukan tindakan menyimpang secara moral.
Individu terkait biasanya mendapatkan kecaman secara verbal oleh para pengguna internet. Cancel culture semakin banyak dilakukan sejak tahun 2017 dan kian populer hingga sekarang.
Siapa yang Bisa Dikenakan Cancel Cultere?
Biasanya sesorang diberikan pembatalan karena melakukan perbuatan atau mengeluarkan pernyataan yang berkaitan dengan SARA atau seksual. Namun ada juga yang terjadi karena perseteruan antara public figure dan melibatkan fans mereka. Salah satu negara yang seringkali melakukan budaya pembatalan adalah Korea Selatan (Korsel). Biasanya hal ini dilakukan terhadap selebriti yang tersandung skandal. Tak hanya mendapat kecaman verbal, mereka yang terkena cancel culture di Korsel bahkan bisa kehilangan berbagai kontrak iklan, kontrak film, dan dituntut untuk mundur dari industri hiburan.
Kasus di Korsel yang ramai dibicarakan beberapa bulan lalu adalah tentang aktor Kim Seon Ho. Setelah drama Home Town Cha Cha Cha yang ia bintangi sukses besar, Seon Ho malah dituding memaksa mantan kekasihnya melakukan aborsi. Tidak hanya mendapat kecaman dari para fans, ia juga kehilangan berbagai kontrak eksklusif bahkan didepak dari acara reality show, Two Days One Night. Padahal di kemudian haru, terbukti tudingan yang dialamatkan kepada sang aktor salah besar.
Tak hanya di Korsel, cancel culture juga terjadi di beberapa tempat lainnya. Seperti yang terjadi pada artis peran, Lea Michele yang dituduh telah melakukan tindakan rasis kepada lawan mainnya di Glee. Ini membuat kontrak Lea dengan sebuah brand ternama langsung dibatalkan. Bahkan penyanyi Indonesia, Ardhito Pramono dikecam rasis dan homofobik karena cuitannya saat masih tinggal di Australia beberapa tahun lalu. Ardhito pun harus membuat video klarifikasi dan meminta maaf terhadap apa yang ia utarakan di masa lalu.
Fenomena ini tak hanya terjadi kepada sosok terkenal saja. Siapa pun pengguna internet, termasuk Anda bisa mendapatkan pembatalan dari para pengguna internet meski skala efeknya tidak seekstrim yang terjadi pada sosok terkenal.
Perlukah Cancel Cultere?
Fenomena cancel culture telah menjadi bagian dari aktivitas media sosial masa kini. Apakah budaya ini perlu dipertahankan atau tidak, tentu harus dilihat kembali mengenai kasus yang terjadi.
Cancel culture dapat menjadi hal yang positif jika memiliki tujuan yang jelas. Misalnya majalah Vogue Amerika Serikat, yang mendapat kecaman dari para pengguna internet karena dinilai kurang melibatkan editor, fotografer hingga model kulit dalam proyeknya. Namun hal yang terjadi dengan Ardhito Pramono misalnya, soal cuitan masa lalunya tentu patut lagi dievaluasi. Seseorang tidak bisa ditentukan karakternya hanya karena pendapat masa lalu yang ia utarakan karena setiap manusia bisa berubah.
Cancel culture merupakan hal personal sehingga Anda sendiri yang menentukan apakah seseorang pantas di-cancel atau tidak. Namun jangan sampai ini justru menjadi ajang perundungan masal kepada orang yang belum tentu bersalah.
Sumber Featured Image : Markus Winkler on Unsplash