Kini muncul tren baru yang sedang banyak dibahas di media sosial yaitu tentang karyawan yang memilih untuk bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan kepada mereka. Para karyawan tersebut menolak untuk melakukan pekerjaan di luar tugasnya dan di luar jam kerja mereka. Tren tersebut dikenal dengan nama quiet quitting dan sekarang sedang marak di kalangan Gen Z. Istilah tersebut banyak muncul di Tweet, Instagram Reels, dan Twitter Video. Banyak orang mengasosiasikan istilah ini dengan kemalasan. Benarkah seperti itu?
Susah Nafas dan Tubuh Membiru akibat Jantung Bocor, Ikran Butuh Biaya Operasi ke Jakarta!
Daftar isi:
Mengenal Quiet Quitting
Definisi untuk quiet quitting adalah hanya melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada karyawan oleh atasan dan karyawan tidak akan melampaui deskripsi pekerjaan mereka. Istilah ini kerap kali disalahartikan sebagai berhenti dari pekerjaan. Namun, tidak seperti itu definisinya.
Karyawan yang melakukan quiet quitting tidak berarti mereka mengundurkan diri dari pekerjaan mereka. Istilah ini lebih tentang menolak permintaan atasan untuk bekerja lebih dari apa yang ditugaskan kepada mereka.
Munculnya dorongan untuk melakukan quiet quitting tidak terjadi begitu saja. Fenomena ini mencerminkan munculnya peningkatan tuntunan yang terus bertambah, harapan yang berlebihan juga kurangnya penghargaan maupun kompensasi yang setara untuk usaha yang dilakukan karyawan.
Mengapa Karyawan Melakukan Quiet Quitting
Meski istilah quiet quitting sedang populer saat ini, namun praktik melakukan hal ini bukanlah hal baru. Selama bertahun-tahun para karyawan sudah melakukan praktik ini untuk mencari hal yang baru. Hal ini dilakukan karena beberapa alasan, di antaranya:
- gaji yang tidak sepadan
- beban kerja yang terlalu banyak
- burn-out
- kurangnya peluang untuk berkembang
Menurut laporan Anatomy of Work Asana di tahun 2022, 7 dari 10 karyawan yang mengalami burn-out. Selain itu, disebutkan juga mereka yang mengalami burn-out menjadi tidak begitu terlibat dalam urusan pekerjaan, membuat banyak kesalahan, keluar dari perusahaan, dan berisiko tinggi mengalami moral yang rendah.
Pandemi membuat quiet quitting kembali menjadi sorotan karena mengubah budaya kerja. Menurut laporan Global Talent Trends 2022 LinkedIn, para karyawan jadi lebih punya banyak waktu untuk memikirkan serta mempertanyakan karier mereka. Selain itu, mereka juga mencari lebih banyak keseimbangan antara kehidupan dan kerja. Saat ini banyak orang yang mengungkapkan ketidakpuasan mereka di media sosial. Sebuah video Tik Tok memperlihatkan bahwa mereka tak hanya hidup untuk bekerja. Orang-orang yang menontonnya mulai mempertimbangkan kembali kebutuhan untuk hidup dan kebutuhan kerja mereka.
WFH sudah mengubah dinamika tempat bekerja. Kini para karyawan dan manajer berkomunikasi dengan cara yang baru, yaitu menggunakan rapat online pada platform Google Meet, Zoom, atau Teams. Mungkin interaksi model ini terasa lebih formal dibandingkan bertemu langsung di kantor. Tak hanya itu, pertemuan juga harus dijadwalkan, tak bisa lagi secara spontan.
Klik Untuk Donasi - Tubuh Kurus akibat Derita Epilepsi, Bilal Butuh Nutrisi Khusus!- Terdanai Rp.914,000
- Pencapaian 7.25%
- Donatur 26
Penyebab Munculnya Quiet Quitting
Fenomena ini merupakan respons terhadap budaya sibuk. Para karyawan ini tidak benar-benar berhenti kerja, mereka hanya berhenti dari gagasan untuk bekerja lebih dari jam kerja dan tidak lagi mengorbankan kehidupan pribadi mereka. Mereka menetapkan batasan untuk mengatakan tidak. Sebenarnya banyak orang sudah melakukan praktik ini hanya saja mereka tidak menyadarinya. Pemberontakan budaya terhadap budaya sibuk ini bukan sesuatu yang kebetulan atau terjadi tiba-tiba. Fenomena ini didorong kembali oleh para karyawan dengan mengatakan “sudah cukup.”
Tanda-tanda Karyawan yang Melakukan Quiet Quitting
Quiet quitting tandanya hadir dalam beragam bentuk, bergantung pada alasan yang mendasari karyawan itu ingin berhenti dari pekerjaannya. Jika karyawan tersebut benar-benar tidak merasa bahagia, kemungkinan tanda-tandanya bisa terlihat lebih nyata dibandingkan karyawan yang memiliki tujuan hanya ingin menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kerja dengan lebih baik.
Berikut di antara tanda-tandanya:
- datang beberapa menit sebelum jam masuk atau pulang tepat waktu
- tidak menghadiri rapat
- kurangnya gairah atau antusiasme.
- kurang produktif
- tidak banyak berkontribusi pada proyek tim
- tidak berpartisipasi dalam perencanaan atau pertemuan
Nah, itulah penjelasan mengenai quiet quitting yang menjadi fenomena di jagat media sosial saat ini. Para karyawan ini melakukan aksi tersebut karena didasari beragam alasan, di antaranya menyeimbangkan kerja dan kehidupan pribadi. Mereka menghindari burn-out atau kelelahan supaya kondisi tubuh juga fit. Banyak orang yang menderita penyakit karena kelelahan bekerja. Di antara mereka ada yang kini tak bisa lagi membiayai pengobatan mereka. Kamu bisa berdonasi untuk membantu mereka melalui WeCare.id. Caranya yaitu dengan mengunduh aplikasi WeCare.id di Google Play atau App Store untuk donasi mudah dan praktis kapan saja.
Yuk, ulurkan tanganmu untuk bantu sesama bersama WeCare.id!
Referensi
Degges-White, S. (2022). Quiet Quitting: What Leaders Can Do to Reduce the Risk. Diambil kembali dari psychologytoday.com.
Hetler, A. (2022). Quiet quitting explained: Everything you need to know. Diambil kembali dari techtarget.com.
Thapa, A. (2022). How ‘quiet quitting’ became the next phase of the Great Resignation. Diambil kembali dari cnbc.com.To hustle or not: Everything you need to know about ‘Quiet quitting’. (2022). Diambil kembali dari business-standard.com.
Sumber Featured Image : Karolina Grabowska dari Pixabay