slot thailandslot thailandslot88slot777

Dampak Politik Terhadap Kesehatan: Mandatory Spending

Dampak Politik Terhadap Kesehatan: Mandatory Spending

Pada tahun 2023, Indonesia mengesahkan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang menghapuskan ketentuan mandatory spending—aturan yang mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD untuk sektor kesehatan.

Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra, karena dampak politik terhadap kesehatan kini lebih terasa. Bagaimana implikasinya bagi masyarakat? Kami dari tim WeCare.id akan membahas bagaimana keputusan politik memengaruhi nasib kesehatan jutaan orang. Mari kita simak bersama.

Kebijakan Baru: Penghapusan Mandatory Spending 5% APBN Kesehatan

Dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Pasal 171 Ayat (1) dan (2), ditetapkan besaran minimal alokasi anggaran kesehatan dari APBN dan APBD, yaitu masing-masing sebesar 5% dan 10%. Pada tahun 2023, Pemerintah dan DPR RI bersama-sama mengesahkan Undang-undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 sebagai pengganti undang-undang lama tersebut.

Salah satu poin paling kontroversial adalah penghapusan aturan wajib/madatory spending: tak ada lagi keharusan hukum mengalokasikan minimal 5% APBN untuk sektor kesehatan. Padahal, aturan mandatory spending selama bertahun-tahun dipandang sebagai “rem” agar anggaran kesehatan tidak dikalahkan kebutuhan sektor lain yang juga penting.

Sejak dihapuskannya kewajiban alokasi anggaran kesehatan, besaran dana sektor kesehatan ditentukan melalui kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR/DPRD pada setiap pembahasan anggaran negara. Kebijakan ini pun memunculkan pro dan kontra baik di kalangan pelaku kebijakan, akademisi, hingga masyarakat sipil.

Argumen Pemerintah: Fleksibilitas dan Efisiensi

Pemerintah berpendapat bahwa penghapusan mandatory spending memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan anggaran. Menurut Kementerian Kesehatan, meskipun aturan wajib dihapus, anggaran kesehatan 2025 tetap dialokasikan lebih dari 5% dari APBN, yakni sekitar Rp217,3 triliun atau 6% dari total APBN 2025.

Kemenkes juga menegaskan bahwa komitmen menjaga anggaran di atas 5% tetap dipertahankan secara politik, meski tak lagi diatur undang-undang.

Menurut Menkes Budi Gunadi Sadikin, sistem “uang mengikuti program” lebih efektif karena dana dialokasikan sesuai kebutuhan nyata program kesehatan, bukan sekadar mengejar target persentase anggaran.

Fokus utama adalah efisiensi dan efektivitas belanja, memastikan setiap rupiah digunakan untuk program yang berdampak langsung pada peningkatan kesehatan masyarakat.

Pemerintah percaya, dengan penggunaan anggaran yang efisien, dana kesehatan justru bisa disalurkan lebih tepat sasaran, terutama untuk penguatan layanan primer, percepatan penurunan stunting, serta respon menghadapi penyakit endemik baru.

Tak hanya itu, pemerintah menyoroti masalah serapan dana di daerah yang selama ini kerap tidak optimal hanya karena dikejar target persentase. Mereka berharap, dengan sistem baru, alokasi anggaran tidak lagi sekadar formalitas angka, namun fokus ke output dan kualitas layanan di masyarakat.

Argumen Pihak yang Kontra: Risiko Penurunan Prioritas

Namun, tidak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa tanpa adanya ketentuan wajib, dana kesehatan berpotensi tergerus untuk kepentingan politik sesaat. Bahkan sebelum UU Kesehatan 2023 diterbitkan, realisasi alokasi anggaran kesehatan Indonesia sudah berada di bawah standar yang direkomendasikan secara internasional.

Misalnya, pada tahun 2022, anggaran kesehatan Indonesia hanya sekitar 5,3% dari APBN, sedangkan negara-negara maju mengalokasikan sekitar 10% dari APBN mereka untuk sektor kesehatan .

Beberapa alasan pihak kontra antara lain:

  • Hilangnya kepastian hukum – Tanpa angka minimum 5% APBN dan 10% APBD, kesehatan rawan diabaikan ketika fiskal ketat atau politik lebih berpihak pada proyek populer.
  • Potensi politisasi – Kini nominal sepenuhnya ditentukan DPR/DPRD dan eksekutif. Hal ini membuat kesehatan berisiko kalah dari agenda politik jangka pendek.
  • Bayang-bayang pemotongan anggaran – Ketiadaan “rem pengaman” hukum membuat dana kesehatan rentan dipangkas hingga jatuh di bawah 5%, terutama saat pemerintah terjerat dilema defisit atau tuntutan untuk mengutamakan agenda politik tertentu.
  • Mengancam target UHC 2025 – Indonesia sedang mengejar Universal Health Coverage (cakupan kesehatan semesta). Penghapusan mandatory spending dianggap melemahkan upaya tersebut.
  • Ketimpangan daerah – Aturan APBD minimal 10% juga dihapus. Daerah dengan kapasitas fiskal terbatas dikhawatirkan semakin sulit menyediakan layanan dasar kesehatan.

Menurut analisis di The Conversation dan Willi Fragcana Putra pada jurnal Kultura (2024), mandatory spending sebelumnya berfungsi sebagai pagar. Dengan dihapus, perlindungan rakyat terhadap fluktuasi politik anggaran menjadi jauh lebih lemah.

Kelompok kontra juga menyoroti dampak nyata di pemerintah daerah. Tanpa aturan yang mengikat, ada kekhawatiran pemerintah daerah akan mengurangi alokasi untuk kesehatan, apalagi di wilayah dengan pendapatan terbatas.

Jika itu terjadi, akses dan kualitas pelayanan—terutama kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, dan masyarakat pedesaan—bisa semakin tertinggal. Peneliti kebijakan di berbagai universitas serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan sangat vokal menyoroti ancaman ini.

Mereka khawatir pemerintah akan “mengorbankan” anggaran kesehatan tiap kali terjadi tekanan fiskal atau naiknya kebutuhan politik lain.

Dengan tantangan kesehatan nasional seperti stunting, TBC, HIV, dan belum meratanya tenaga medis—standar minimal anggaran dibutuhkan sebagai penopang keberlanjutan program kesehatan nasional yang inklusif dan berkeadilan.

Anggaran Kesehatan Tahun 2025

Walau aturan wajib sudah dihapus, pada 2025 pemerintah masih mengalokasikan sekitar Rp217,3 triliun untuk sektor kesehatan, sekitar 6% dari APBN. Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya pemangkasan Rp19,6 triliun dari pagu awal Kementerian Kesehatan, sebagai dampak Instruksi Presiden terkait efisiensi anggaran nasional.

Ini menjadi bukti nyata besar-kecilnya anggaran akan sangat tergantung pada situasi ekonomi-politik setiap tahun.

Menghadapi tahun 2026, perkiraan anggaran kesehatan diprediksi naik menjadi Rp244 triliun, dengan fokus utama pada upaya preventif, penguatan layanan primer, dan pemerataan fasilitas kesehatan.

Namun gairah optimisme ini tetap harus dikritisi, agar komitmen politik tetap kuat menghadapi berbagai risiko perubahan arah kebijakan di masa mendatang.

Dampak Politik Terhadap Kesehatan dan Harapan Masa Depan

Perubahan aturan mandatory spending menjadi studi kasus nyata dampak politik terhadap kesehatan yang akan berdampak panjang. Bagaimanapun sistemnya, yang terpenting adalah adanya pengawasan dari masyarakat agar dana kesehatan tidak dikorbankan hanya untuk menjaga keseimbangan anggaran atau kepentingan segelintir penguasa.

Keterlibatan masyarakat, keterbukaan data, dan ketegasan hukum sangat penting untuk memastikan anggaran benar-benar berpihak pada hak dasar rakyat Indonesia.

Jangan lupa, keterlibatan kita dalam mengawasi dan mendukung transparansi sangat dibutuhkan agar dampak politik terhadap kesehatan tidak terasa negatif di kehidupan sehari-hari.

Kesehatan Bukan Komoditas Politik, Melainkan Hak Dasar

Dampak politik terhadap kesehatan mungkin tak terlihat langsung, tapi bisa sangat nyata dalam kehidupan masyarakat. Sebagai warga negara, kita harus lebih kritis dan aktif mengawasi serta tidak ragu menyuarakan aspirasi. 

Langkah ini diperlukan untuk memastikan bahwa layanan kesehatan tetap menjadi fokus utama pembangunan bangsa, bukan hanya hasil kesepakatan politik sesaat.

Yuk, tingkatkan pemahaman dan selalu update informasi kesehatan terbaru dengan mengunjungi blog WeCare.id! Bersama, kita bisa berkontribusi untuk kesehatan yang lebih baik.

Referensi

Antara. (2023). Anggaran Kesehatan RI Lebih Rendah dari Negara Tetangga, Ekonom Bicara Risikonya. Diambil kembali dari www.tempo.co.

Askar, M. W., Fikri , B., Darmawan, J., Muhammad, G. D., & Setiadi, B. M. (2025). PAK PRESIDEN, KAMI PUNYA IDE LAIN. Diambil kembali dari celios.co.id.

Irwandy. (2023). UU Kesehatan baru: apakah penghapusan anggaran wajib minimal 5% APBN dan 10% APBD tepat saat ini? Diambil kembali dari theconversation.com.

laporsehat. (2025). Anggaran Kemenkes Dipangkas, Komitmen Pemerintah terhadap Kesehatan Dipertanyakan [Instagram Post]. Diambil kembali dari https://www.instagram.com/p/DGAgjliykx-/.

Merugikan Pelayanan Publik dan Melemahkan Demokrasi, Kebijakan Efisiensi Harus Segera Dievaluasi. (2025). Diambil kembali dari ti.or.id.

Muhawarman, A. (2024). Walau Tak Ada Lagi Mandatory Spending, Anggaran Kesehatan 2025 Tetap di Atas 5%. Diambil kembali dari kemkes.go.id.

Nurman, B. (2023). Hilangnya Batas Minimal Anggaran Kesehatan dalam UU No 17 Tahun 2023, Apa Dampak Bagi Kesehatan Indonesia? Diambil kembali dari www.kompasiana.com.

PUTRA, T. S. (2024). Politik Kesehatan. Diambil kembali dari www.kompas.id.

Putra, W. F. (2024). MENAKAR PENGHAPUSAN MANDATORY SPENDINGDI BIDANG KESEHATAN PASCA DISAHKANNYAUNDANG UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023. Kultura.

SahabatPegadaiandalamKeuangan. (2025). Efisiensi Anggaran 2025, Apa Tujuan dan Pengaruhnya? Diambil kembali dari sahabat.pegadaian.co.id.

Siahaan, H. M. (2023). Tragedi Penghapusan “Mandatory Spending” dalam UU Kesehatan yang Baru. Diambil kembali dari nasional.kompas.com.

Tracking every rupiah: Indonesia’s bold step towards universal health coverage. (2025). Diambil kembali dari www.who.int.

Tundang, R. E. (2024). Di bawah standar WHO: 3 alasan anggaran kesehatan harus ditingkatkan di era Prabowo. Diambil kembali dari theconversation.com.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN. (2023). Diambil kembali dari peraturan.bpk.go.id.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN. (2009). Diambil kembali dari sireka.pom.go.id.

Sumber Featured Image : Mufid Majnun di Unsplash