Apa Bahaya Stigma Covid-19 di Masyarakat? Bagaimana Cara Menghentikannya?

Apa Bahaya Stigma Covid-19 di Masyarakat? Bagaimana Cara Menghentikannya?

Covid-19 tidak hanya memunculkan masalah kesehatan tetapi melahirkan masalah lainnya, yaitu stigma. Pemberitaan mengenai mayat pasien Covid-19 yang ditolak atau pekerja kesehatan yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan karena merawat pasien Covid-19 beberapa kali muncul kepermukaan.

Apa itu Stigma?

Stigma merupakan diskriminasi terhadap sekelompok orang, tempat, atau bangsa yang dapat diidentifikasi. Stigma dihubungkan dengan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana COVID-19 menyebar, kebutuhan untuk menyalahkan seseorang, ketakutan akan penyakit dan kematian, serta gosip yang menyebarkan rumor dan mitos.

Keadaan darurat kesehatan masyarakat, seperti pandemi Covid-19 ini, adalah masa-masa yang membuat masyarakat dan komunitas stres. Perasaan takut dan cemas akan suatu penyakit bisa  menimbulkan stigma sosial, yakni sikap dan kepercayaan negatif terhadap orang, tempat, atau benda.

Stigma bisa mengarah pada stereotip, pelabelan, diskriminasi, dan perilaku negatif lainnya terhadap orang lain. Misalnya, stigma dan diskriminasi bisa terjadi saat orang mengaitkan suatu penyakit, seperti Covid-19, dengan populasi, komunitas, atau bangsa. Stigma juga bisa menyerang orang yang sudah sembuh dari Covid-19 atau pasien Covid-19 yang meninggal dunia serta keluarganya. Mereka yang dinyatakan bebas dari karantina dan isolasi pun bisa diserang oleh stigma yang berhubungan dengan Covid-19.

Beberapa kelompok orang yang mungkin mengalami stigma selama pandemi COVID-19 di antaranya:

  • Kelompok ras dan etnis minoritas tertentu, contohnya etnis Tionghoa dan kulit hitam atau Afrika Amerika;
  • Orang yang dites positif COVID-19, telah pulih dari sakit COVID-19, atau dibebaskan dari karantina COVID-19;
  • Pegawai gawat darurat atau penyedia layanan kesehatan;
  • Pekerja garis depan lainnya, seperti pegawai toko bahan makanan, supir pengiriman, atau pekerja pertanian dan pabrik pengolahan makanan;
  • Orang yang memiliki kecacatan atau gangguan perkembangan atau perilaku yang mungkin mengalami kesulitan dalam mengikuti rekomendasi;
  • Orang yang memiliki kondisi kesehatan mendasar yang menyebabkan batuk;
  • Orang-orang yang tinggal dalam kelompok (kelompok) pengaturan, seperti orang-orang yang mengalami tunawisma.

Daripada berfokus pada penyakit yang menyebabkan masalah, stigma menyakiti semua orang dengan menciptakan lebih banyak ketakutan atau kemarahan terhadap orang biasa. Karena takut dengan stigama, orang-orang jadi memiliki kecenderungan untuk cenderung menyembunyikan gejala atau penyakit sehingga mereka tidak bisa segera mencari perawatan kesehatan, dan mencegah orang untuk mengadopsi perilaku sehat. Ini artinya stigma bisa mempersulit pengendalian penyebaran wabah.

Survei Mengenai Stigma Covid-19

Melansir Suara.com laporan survei terbaru dari LaporCovid-19 serta Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menunjukkan bahwa stigmatisasi masih tetap menghantui para penyintas walaupun pandemi virus corona telah berjalan selama enam bulan. Survei ini dilakukan secara online dari tanggal 7-16 Agustus 2020 dan disebarkan melalui aplikasi WhatsApp dengan jumlah responden 297 dan jumlah responden yang valid 181.

Dari hasil survei yang diungkap oleh Dicky Pelupessy, PhD yang menjadi peneliti utama LaporCovid-19, sebanyak 55 % dari total 181 responden mengaku mereka menjadi korban buah bibir masyarakat sekitar setelah mereka dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Dampaknya yaitu 33% dari mereka dijauhi atau dikucilkan dan 25% lagi dijuluki sebagai penyebar atau pembawa virus dan 10% penyitas menyebutkan pernah mengalami bullying atau perundungan di media sosial.

Selain itu, 42% dari keluarga penyintas juga mengalami stigmatisasi di antaranya digosipkan atau dijadikan bahan perbincangan oleh lingkungan sekitar mereka. 27% dari anggota keluarga mengalami perlakuan tidak menyenangkan seperti dikucilkan atau dijauhi. 15% dari mereka dijuluki penyebar atau pembawa virus. Lebih memprihatinkan lagi, sebanyak 7% anggota keluarga penyitas mendapatkan penolakan saat menggunakan layanan fasilitas umum. Kebanyakan responden yang mendapatkan stigmatisasi adalah kaum perempuan ungkap Dicky.

Perlakuan ini diakibatkan 43% karena kurangnya informasi atau informasi yang keliru. 42 % beranggapan karena masyarakat merasa takut. Ketika orang diduga terinfeksi, saat itulah mereka akan mendapatkan stigma dan akan menjadi lebih besar lagi saat dinyatakan positif Covid-19.

Bahaya Stigma Sosial

Stigma sosial umumnya terkait dengan ras, budaya, jenis kelamin, kecerdasan dan kesehatan. Konseptualisasi stigma mengidentifikasi empat elemen yang berinteraksi satu sama lain: stigma yang diantisipasi, dirasakan, dialami, dan diinternalisasi.

Di antara bahaya stigma sosial adalah membuat orang menyembunyikan status kesehatan, enggan memeriksakan diri, serta beberapa orang orang kabur saat akan diperiksa, diobati ataupun dikarantina. Hal ini pun disebutkan juga dalam artikel yang ditulis oleh para peneliti dari Universitas Sassari, Italia, Universitas Bond, Robina, Queensland, Australia, dan Rumah Sakit Liverpool, Sydney, New South Wales, Australia yang dipublikasikan di the European Respiratory Journal. Stigma sosial membuat orang-orang menghindari tes SARS-CoV-2; pasien dan keluarganya merasa dihakimi oleh orang lain; orang yang terinfeksi atau terpajan dikeluarkan, diisolasi dan didiskriminasi oleh anggota rumah tangga dan/atau masyarakat mereka; dan beberapa pasien mungkin merasa malu dan penolakan diri. Stigma sosial bisa memperbesar risiko terjadinya penularan di masyarakat.

Cara Mencegah Stigma Sosial

Dikutip dari Kawalcovid.19.id, sebagai individu, kita bisa menghindari stigma sosial dengan melakukan hal berikut ini:

Gunakan nama yang benar, yaitu penyakit Covid-19 karena disebabkan oleh virus SARS-Cov-2. Nama Covid-19 merupakan singkatan dari Corona Virus Disease dan 19 berarti 2019.Tidak menyebut orang yang terkena Covid-19 dengan sebutan korban atau penderita, tapi pasien.

Hindari melabel orang, kelompok, etnis ataupun daerah tertentu sebagai “penyebab” ataupun “penyebar” Covid-19.

Berikan dukungan pada mereka yang terkena dampak, baik pasien, keluarga pasien ataupun masyarakat sekitar.

Berikan penghargaan kepada petugas kesehatan yang telah merawat pasien Covid-19. Mereka merupakan pahlawan dalam peperangan menangani wabah ini.

Jangan menyebarkan kabar hoaks, gosip yang tidak jelas, terutama narasi yang bersifat kebencian pada satu orang, kelompok, etnis, atau daerah tertentu yang terkait Covid-19.

Stigma muncul dari ketakutan dan ketakutan muncul dari ketidaktahuan. Oleh karena itu lawan dengan mencari informasi yang benar dari sumber yang benar.

Sebarkan berita baik, seperti kesembuhan pasien, cara pencegahan yang praktis dan tepat, serta cara mengamankan diri juga keluarga dari penularan. Bisa juga dengan menyebarkan berita tentang perjuangan para pekerja kesehatan dalam menangani wabah Covid-19 ini.

Yuk, satukan tangan untuk memenuhi kebutuhan alat pelindung diri untuk tenaga medis yang sedang berjuang melalui link : https://wecare.id/apdcorona/

Sumber:

https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/daily-life-coping/reducing-stigma.html

https://www.suara.com/news/2020/08/28/093143/survei-penyintas-covid-19-dihantui-stigma-negatif-dicap-penyebar-corona

https://www.thejakartapost.com/news/2020/08/30/for-some-indonesians-covid-19-stigma-worse-than-disease.html

https://kawalcovid19.id/content/698/mencegah-dan-menangani-stigma-sosial-seputar-covid-19

https://www.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-01752280/kementrian-sosial-beri-8-cara-untuk-mencegah-stigma-sosial-terkait-covid-19